Nyaris absurd sebenarnya. Inilah dia produk yang ditunggu-tunggu oleh Korea Selatan, kulminasi dari bertahun-tahun investasi mereka yang tenar pada perkembangan musik dan budaya mereka, yang menghasilkan conveyor belt musik K-Pop yang telah merajai tangga lagu seluruh Asia. Siapa di Indonesia yang tidak mengenal Super Junior, Girl’s Generation, atau Rain? Hampir seluruh remaja tanggung di Indonesia kemudian mengenal K-Drama yang diterjemahkan dan di-dubbing secara pas-pasan untuk kemudian di rilis di berbagai televisi swasta atau dijual secara bebas di berbagai toko DVD bajakan. Mereka mempelajari beberapa frasa Korea dasar, atau bahkan secara nyata mengikuti les bahasa Korea yang mendadak meledak popularitasnya di Indonesia. Jepang dan budaya Harajuku atau Cosplay-nya kini memiliki rival baru dari seberang lautan; para artis-artis dengan paras menawan dari Korea yang luar biasa bertalenta dan tak hanya tampak seperti hasil manufaktur, namun sebuah pencapaian terbaik seorang insinyur brilian. Hallyu Wave, gelombang budaya Korea yang mulai menutupi dunia, nyaris lengkap. Seluruh Indonesia – dan dalam konteks tertentu, dunia – kini terobsesi dengan segalanya tentang Korea – majalah-majalah remaja yang dijual di stand-stand pinggir jalan menampilkan foto bintang film tersohor dari Korsel, lengkap dengan gosip-gosip mengenai kehidupan pribadinya serta poster seronok.
Mengingat bagaimana kita terobsesi dengan boyband atau girlband arus utama yang kerap tampil bagaikan dewa-dewi maha sempurna, sungguh absurd bila kita menilik Psy, nama samaran Park Jae-Sang, yang merilis Gangnam Style. Tak seperti lazimnya bintang K-Pop yang tampan dan atraktif, Park tampak seperti seorang penjual televisi di distrik industrial Seoul. Bukannya saya bermaksud rasis atau menstereotipkan, namun saya pribadi tak akan terkejut bila melihat seseorang dengan penampilan mirip Park Jae-Sang tengah menjual alat elektronik di sebuah toko murahan di Glodok. Singkatnya, dia berbeda. Ketika K-Pop umumnya tampak termanufaktur (kebanyakan karena mereka memang dimanufaktur), Park terlihat nyata.
Perawakannya cukup gemuk, sementara pipi tembam dan hidung peseknya tak akan disandingkan dengan Rudolph Valentino atau James Dean. Alih-alih seorang bintang baik-baik, Psy adalah seorang rapper kontroversial yang didenda karena album pertamanya dianggap ‘tak pantas’ (bahkan album keduanya urung dirilis akibat larangan), ditangkap akibat memiliki mariyuana, dan menghindari wajib militer Korea Selatan. Jebolan Berklee College of Music ini tidak tampak seperti seorang bintang Korea laten, namun itulah dia sekarang. Dengan Gangnam Style, dia telah menembus pasar AS yang didewa-dewakan oleh bintang regional manapun. Di AS dan Barat, dia telah menjadi bagian dari budaya pop arus utama yang benar-benar nyata dan dikenal masyarakat – sesuatu yang hanya bisa diimpikan bintang-bintang K-Pop lainnya. Gerakan dansanya yang eksentrik dan video klipnya yang unik menjadikannya ikon internasional, dan mendadak para penggemar Internet memiliki sumber meme dan pahlawan baru. Namun terlepas dari penampilan fisiknya yang tidak ‘nge-K Pop’, sesungguhnya alasan kenapa berkibarnya Gangnam Style di kancah internasional begitu unik adalah karena Gangnam Style adalah sebuah lagu satir yang tajam dan mendalam, serta mengekspos krisis identitas dalam masyarakat kita – termasuk dalam musik Indonesia.
Izinkan saya menjelaskan lebih jauh. Dalam sebuah artikel yang menarik di The Atlantic, Max Fisher menjelaskan dan menelaah secara cukup mendetail bagaimana isi lagu dan konteks sosial Gangnam Style menjadikannya sebuah lagu yang lebih dari sekedar lucu-lucuan belaka. Gangnam sendiri, seperti yang dijelaskan oleh Jea Kim alias Onsemiro di blognya yang ekstensif, mydearkorea.blogspot.com, tadinya hanyalah daerah pedesaan di pinggiran kota Seoul yang terbilang miskin dan cukup rural. Uang dan perkembangan modern baru masuk ke daerah kota itu pada tahun 70’an, dengan dibukanya Jembatan Hannam dan Expressway Gyeongbu di tahun 1970. Mendadak, distrik tersebut bertransformasi dari sekedar sekumpulan sawah dan kebun buah pir menjadi distrik komersil dan bisnis terbesar di seluruh Korea Selatan. Transformasi luar biasa cepat ini berjalan seiring dengan meledaknya perekonomian Korea Selatan, dan menjadikan Gangnam simbol utama kekayaan baru dan modernisasi yang datang dan menyapu seluruh Korsel menjelang akhir abad 20. Saya merasa tak ada cara yang lebih baik selain mengutip langsung Max Fisher:
“Salah satu hal pertama yang ditunjukkan Hong saat menjelaskan subteks video klip tersebut adalah jumlah hutang kartu kredit di Korsel. Di tahun 2010, rata-rata rumah Korsel memiliki hutang kartu kredit yang berjumlah 155 persen dari penghasilan mereka (sementara di AS pasca krisis, angkanya mencapai 138 persen). Ada hampir 5 kartu kredit per orang dewasa di Korsel. Korsel hidup bergantung pada kartu kredit sejak pertengahan tahun 90’an, saat pertumbuhan negara mereka yang luar biasa membuat opsi meminjam uang tampak aman, dan di akhir tahun 90’an ketika pemerintah mendorong orang untuk menghabiskan uang guna keluar dari krisis finansial Asia. Penekanan pada pembelanjaan besar, serta pertumbuhan luar biasa Korsel dalam 2 generasi dari negara petanian miskin jadi kekuatan ekonomi besar telah menciptakan sebuah mentalitas yang mementingkan kerja keras dan aspirasi, serta sifat materialisme yang mengikutinya.Gangnam, menurut Hong, adalah simbol aspek itu dari budaya Korsel. Distrik itu adalah rumah bagi banyak brand terbesar Korsel, serta 84 miliar dollar kekayaan Korsel di 2010. 7 persen GDP seluruh negara pepat di daerah berukuran 15 mil persegi. Tempat penuh uang ini ibarat metafora jadi nyata dari kaum eksklusif Korsel. ‘Daerah Gangnam bukan daerah yang bagus. Anak-anak yang ada di situ bukanlah jutawan pekerja keras ala Silicon Valley. Mereka bayi yang bergantung pada ortu dan manja.’ Jelasnya.”
Gangnam, mengutip mydearkorea.blogspot.com, “Mungkin bisa dibandingkan dengan Upper East Side atau Beverly Hills nir budaya di AS. Namun, penggambaran yang lebih tepat mungkin adalah bahwa Gangnam itu ibarat Dubai baru yang dibangun di atas perkebunan pir dan kubis di Korsel.” Dan Gangnam Style, untuk semua kekonyolan dan kegilaan yang dipertontonkan oleh Psy, sebenarnya adalah sebuah lagu yang bersifat satir, menertawakan serta menunjukkan kecenderungan orang Korsel untuk mencari muka, mencoba untuk mencapai status ‘kaya’ dan ‘keren’ yang dibawa serta disimbolisasikan oleh Gangnam. Istilahnya, Gangnam Style adalah sebuah elegi panjang mengenai kontestasi sosial yang pepat dalam sebuah kegilaan electro-house 4 menit. Psy sendiri menyebut bahwa “Orang yang memang berasal dari Gangnam tak pernah keluar dan berkata dia Gangnam Style. Hanya orang yang berpura-pura dan ingin jadi seperti itu yang mengeluarkan gaya tertentu dan bilang kalau mereka ‘Gangnam Style’. Lagu ini sebenarnya mengkritik dan menyentil orang-orang seperti itu – orang-orang yang mencoba jadi orang lain.”
Namun, apa korelasi Gangnam Style dengan fenomena musik Indonesia?
Beberapa waktu lalu, saya sempat menghadiri satu acara diskusi musik yang dipandu, salah satunya, oleh Deny Sakrie, sang pengamat musik. Di saat itu, mendadak ia berbicara mengenai perkembangan K-Pop sebagai sebuah genre yang kini meledak di mana-mana. Cukup panjang lebar, dia berbicara mengenai bagaimana K-Pop berekspansi dan bermula dari inisiatif pemerintah Korsel untuk mengirimkan seniman-seniman serta musisi-musisi muda Korsel ke berbagai universitas musik dan seni ternama di AS untuk mempelajari industri musik, dunia musik, dan perkembangan seni di situ. “Hasilnya seperti yang kita lihat sekarang ini,” dia berkata. “Musik K-Pop modern sebenarnya cukup terpengaruh dari beat dansa ala dance-pop, sedikit R n B, dan Hip Hop. Semuanya sebenarnya produk AS, dan itu mereka dapat saat dikirim pemerintah ke luar negeri untuk belajar.” Fenomena berikutnya yang dia jelaskan adalah kejadian ‘guru kalah sama murid’, yang banyak dianalogikan oleh orang-orang Indonesia ketika dengan berat menerima superioritas Malaysia (“… dulu Malaysia itu yang belajar ke kita, kita dianggap guru dan lebih tinggi dari mereka. Sekarang, mereka pulang dan Malaysia maju, dan malah kita yang ngemis minta belajar ke mereka!”). Musik K-Pop, katanya, kini mulai berekspansi dan tenar di AS, negara yang dalam satu atau lain cara, mengajarkan azas K-Pop kepada Korsel.
“Loh, jangan-jangan itu yang terjadi pada Indonesia?” celetuk saya sembarangan, tak sadar bahwa ini seminar, bukan obrolan santai di warung kopi.
Dia tampak tertarik. “Maksudnya apa?”
Panitia acara dengan terburu-buru memberikan saya mikrofon.
“Kita sekarang mengapropriasikan budaya girl band dan boy band dari Jepang dan Korea. Kita mengambil gaya mereka, lalu menginterpretasikannya dengan cara kita sendiri. Bahkan, Cherrybelle saja sudah mulai coba konser di Korsel. Jangan-jangan kita mau mengikuti apa yang dilakukan Korsel dan Jepang? Kalau gitu apakah identitas kita hanya sebagai bangsa yang meniru?”
Satu hal yang, kini, saya sadari salah secara faktual dari pernyataan tersebut adalah konser Cherrybelle di Korsel, yang hingga kini belum bisa saya temukan bukti nyatanya, sebuah kesalahan konyol bagi saya pribadi. Namun, penelusuran sederhana di web menemukan bahwa Cherrybelle, walau memang tak pernah konser di Korsel, memang pernah syuting untuk variety show di Korsel dan dilanjutkan dengan wawancara dengan salah satu stasiun radio di Korsel. Intinya sama. Pelajari, lalu mulai invasi. Terjadi siklus yang terulang kembali, di mana kita seperti ingin meniru tak hanya dari gaya dan posturing ala K-Pop, namun juga langkah yang ditempuh oleh mereka untuk mencapai kejayaan dan hegemoni budaya yang ada kini. Lantas, kalau begitu, apakah identitas musik Indonesia hanya sebagai bangsa yang meniru?
Dalam sebuah artikel menarik yang mengupas perbedaan definisi musik kontemporer, avant-garde, dan modern, A Harsawibawa menyebut berikut sebagai definisi musik kontemporer:
Pencampuran budaya seperti ini, nampaknya, adalah sesuatu yang bersifat mutlak di sebuah masyarakat yang multikultural dan terbuka pada influens budaya asing. Namun, dengan resiko terdengar seperti seorang pengkampanye uber-nasionalis yang sarat dengan sentimen xenophobia, ini menimbulkan pertanyaan dasar mengenai ada tidaknya identitas musik Indonesia yang murni, terlepas dari segala campuran apapun. Bahkan musik-musik yang acapkali dianggap sebagai simbol Indonesia pedalaman, musik yang dianggap ‘kampung’ dan ‘tradisional’ seperti Keroncong pun tak lepas dari pencampuran budaya. Pencarian sederhana di Wikipedia memampangkan dengan nyata akar musik Keroncong dari alat-alat musik ala Eropa yang dibawa oleh pelaut Portugis di abad 16. Dangdut sendiri, dalam relasi dengan asal muasalnya, masih menjadi bahan perdebatan. Namun, rata-rata setuju bahwa Dangdut berakar dari amalgamasi musik Melayu, Arab, dan India. Bahkan kini, elemen musik house, hip-hop, dan rock mulai menyusup ke dalam Dangdut.“Di Indonesia kita dengan mudah menemui pemusik kontemporer, contohnya yang terkemuka adalah Slamet Abdul Syukur, Rahayu Supanggah, Tony Prabowo, Michael Asmara, dsb. Jadi, apa itu yang disebut dengan musik kontemporer sehingga ia sangat mudah dipahami? Yang disebut dengan musik kontemporer adalah musik yang menggunakan materi dan medium konvensional tetapi cara pengolahannya yang tidak konvensional.Contohnya adalah musik dari Rahayu Supanggah. Supanggah menggunakan musik dari materi-materi budaya Jawa, tetapi cara pengolahannya lebih sering di luar tradisi Jawa. Jadi bisa dikatakan bahwa musik kontemporer adalah musik yang merupakan perkembangan dari musik tradisi. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan: apakah orang yang menghasilkan musik kontemporer haruslah orang yang bertradisi sama dengan musik yang dibuatnya itu? Tentu saja tidak. Hal ini dapat ditemukan di dalam pemusik terkemuka Amerika, yang pengaruhnya sangat besar sekali untuk budaya musik Jawa: Collin McPhee; atau seperti seorang Lou Harrison yang menggubah musik Jawa dan bahkan membuat sendiri gamelannya.”
Indonesia sendiri adalah sebuah negara yang, lebih dari segalanya, merindukan seorang ikon. Nasionalisme, yang sudah mulai dikritik sebagai konsep oleh beberapa teoris politik dan akademisi seperti Russell atau Grayling (Einstein sendiri menyebut Nasionalisme sebagai “…penyakit anak-anak…”), masih merupakan sebuah fenomena yang populer di Indonesia, bahkan bisa dibilang, nasionalisme adalah sesuatu yang diberhalakan. Seseorang yang tidak menghafalkan Pancasila dianggap sebagai antek Komunis atau orang yang tidak tahu terima kasih pada negara (saya sendiri dijuluki itu karena tak pernah hafal sila ke-empat dari Pancasila). Seseorang yang tidak tahu semua lirik lagu Indonesia Raya (saya baru hafal saat usia saya 13 tahun) dianggap menghina bapak negara. Sementara itu, dari poster-poster pemerintahan mata Soekarno menatap Indonesia dengan sangar – pose tubuhnya seolah mengindikasikan seorang pria yang benar-benar, secara nyata, berkuasa. Soekarno adalah sebuah ikon Indonesia yang sesungguhnya. Seorang pria berapi-api yang berhati-hati pada apapun yang bersifat asing, memiliki sentimen nasionalis yang luar biasa, dan memegang teguh semangat revolusi. Saya tidak berniat mengkultuskan atau memuja-muji Soekarno – sama sekali tidak. Namun tak banyak, saya rasa, yang akan mendebat saya taktala saya menyebut bahwa Soekarno ibarat bendera Merah Putih dipepatkan menjadi manusia nyata, yang berdiri teguh di atas Jakarta dan menebas musuh dengan kekuatan doa, keringat, dan air mata. Soekarno bagaikan individualisme Indonesia dan mentalitas kita vs mereka diwujudkan jadi nyata. Soekarno, tak ada yang akan menyangkal, adalah ikon Indonesia sesungguhnya.
Namun bagaimana dengan musik? Definisi ikon Indonesia, jika kita mengacu pada model Soekarno, adalah seorang pria Indonesiawi yang – tentunya bukan menolak mentah-mentah – berhati-hati pada apapun yang berbau luar dan bangga melihat ke dalam. Bangga pada apapun yang ke Indonesia-an. Namun mana ikon seperti itu di Indonesia? Saya rasa tidak ada. Reapropriasi identitas yang digambarkan oleh Gangnam Style adalah sesuatu yang nyata dan kita lihat dengan gamblang dengan menjamurnya boyband dan girlband ala Korea di Indonesia, dan reapropriasi itu sendiri merusak gambaran kita mengenai ikon ke Indonesia-an. Kita seperti rakyat Korea yang separuh iri dan dan separuh lagi sebal, namun tetap ingin menjadi seperti Gangnam karena merindukan status sosial tinggi yang dibawa olehnya. Walau mungkin friksi itu tidak se-nyata di Seoul, Indonesia sendiri seolah memiliki budaya yang mencurigai ekspor apapun dari luar. Penelusuran sederhana ke buku PPKN SD manapun akan menunjukkan bahwa jawaban yang tepat untuk pertanyaan “Bagaimana cara menyikapi budaya dan kultur asing?” adalah “Dipilah, yang baik diambil dan yang buruk ditolak” (uniknya, tak pernah ada pertanyaan tentang budaya lokal, seolah budaya lokal selalu benar dan sesuai dengan pemikiran Indonesia… tapi itu cerita lain). Namun untuk semua tetek bengek ke-PPKN an itu, faktanya sederhana; Indonesia merindukan status sosial K-Pop. Dan kecenderungan yang ada sekarang adalah mimikri yang telanjang dan nyata (lihat kasus Cherrybelle yang dikritik habis-habisan akibat dituduh meniru lagu girlband Korsel, SNSD).
Jika saya menjadi anda, sekarang ini saya sudah menutup tab dan menilai artikel ini sebagai sekedar tulisan dari seorang ultra-nasionalis kolot yang merindukan hari-hari Soekarno dan membenci masuknya budaya Korsel ini ke Indonesia. Namun tidak. Musik Indonesia memang tidak memiliki ekuivalen Soekarno-nya. Bahkan Koes Plus, nama yang kerap kali terbersit ke kepala ketika kita membicarakan musik Indonesia, sempat dibredel oleh pemerintahan Soekarno karena dianggap sebagai musik ‘ngak-ngik-ngok’ yang ke Barat-Baratan. Kita tidak memiliki ikon yang benar-benar terkenal, benar-benar nyata, dan ke-Indonesia’an. Pertanyaannya bukanlah kapan ikon itu akan datang. Pertanyaannya adalah; apakah perlu?
Jimi Multhazam, vokalis The Upstairs dan MORFEM, pernah berkata pada saya bahwa musik Indonesia perlu seorang ikon. Dan yang membuat seorang musisi itu ikon, adalah kemampuannya untuk “…memotret jaman di mana dia tinggal.” Lantas, apakah definisi ini sesuai dengan pemikiran ikon Indonesia sebagai sosok ke-Sukarnowian? Belum tentu. Hegemoni Iwan Fals sebagai salah satu garda terdepan musik Indonesia tentu tak diragukan lagi. Namun bahkan anggota Oi paling fanatik sekalipun harus mengakui bahwa pembawaannya sedikit banyak mengacu pada Bob Dylan. Tapi, toh dia dicintai juga. Toh dia dipuja juga. Saya pribadi merasa bahwa materinya di era 2000’an semakin menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas (lirik cinta mengeluh ‘Aku Bukan Pilihan’ jelas tidak setajam elegi menyayat ‘Ibu’ atau kritik jenaka ‘Guru Oemar Bakrie’). Namun persetan dengan semua itu. Iwan Fals, si faux-Bob Dylan, adalah ikon musik Indonesia.
Lantas, apakah kita perlu Soekarno-nya musik? Menurut saya pribadi; tidak.
Biarkan Soekarno menjadi makanan para uber-nasionalis yang haus akan Marhaenisme dan tak henti-hentinya menyebar pamflet mengkritik berdiri dan hegemoninya antek-antek ‘Kapitalis’ dan ‘Neo-Liberalisme’ yang mereka anggap mengancam negara. Biarkan imej Soekarno direapropriasi oleh begitu banyak politisi yang hendak mempotret dirinya sebagai Soekarno Jilid II… seorang pemimpin Ke Indonesiaan yang merakyat, berapi-api, dan Indonesia-sentris. Di era globalisasi dan desentralisasi identitas nasional ini, kita sebagai Indonesia membutuhkan simbol untuk negara yang merindukan kembalinya diri ke awal… ikon utama bagi negara yang haus akan kejayaan fundamental lama yang berhasil meruntuhkan hegemoni penjajah dan mengembalikan Indonesia ke tangan orang Indonesia. Kita membutuhkan seseorang untuk menjadi wajah bagi pemberontakan ini, manusia yang dengan lantang dan tanpa apologia menjadi wajah dari pembaharuan Indonesia… hanya saja dalam definisi unik Indonesia sendiri mengenai ‘pembaharuan’, di mana kata tersebut sesungguhnya hanyalah euphemisme belaka untuk ‘kembali ke titik identitas awal’. Musik Indonesia nampaknya perlu ikon seperti ini, seorang Soekarno versi musik yang membawa kejayaan dan cerita Indonesia sesungguhnya. Namun, kata kunci dari kalimat tersebut adalah nampaknya…
Kembali ke Gangnam Style; betapa lucunya melihat lagu tersebut menjadi tenar, salah satunya di Indonesia. Karena sesungguhnya, dia berbicara mengenai sebuah kecenderungan yang nyata di masyarakat dan musik Indonesia masa kini. Indonesia (dan dalam satu atau lain hal, semua negara di dunia) sesungguhnya adalah sebuah tempat yang tengah terjebak di sebuah persimpangan antara dua haluan. Sebuah persimpangan yang hanya menyisakan dua belokan, ke kiri atau ke kanan. Sebuah persimpangan yang nyatanya menunjukkan bahwa belok ke kiri berarti kembali ke awal dan berisiko dianggap konyol oleh orang-orang lain, sementara belok kanan artinya pergi ke status sosial yang dianggap lebih baik, namun sesungguhnya tidak disukai oleh orang yang belok itu sendiri. Gangnam Style berbicara tentang ini, tentang kontestasi pemikiran ini.
Tapi apakah seburuk itu? Gangnam Style sendiri adalah lagu yang tak terlalu menganggap dirinya serius, dan nyatanya, tak terlalu dianggap serius. Kebanyakan orang hanya melihat video dan lagunya sebagai sekedar video seorang pria Korea gemuk dengan baju berlebihan dan dansa nyeleneh beradu dansa dengan seorang orang gila berbaju kuning, meledakkan lapangan di belakang dua pria tua yang bermain catur, dan berteriak pada bokong perempuan yang sedang melakukan sesi yoga. Gangnam Style kelihatannya hanya komedi, padahal sesungguhnya, hampir bisa dibilang dia adalah cermin paling riil dari kehidupan kita sekarang sebagai sebuah masyarakat yang merindukan sesuatu yang dibencinya, namun dibutuhkan demi persetujuan dunia.
Sumber : http://musicblur.wordpress.com/2012/10/19/gangnam-style-soekarno-dan-identitas-musik-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar